Minggu, 20 September 2015

ANTARA "Ada" dan "Tiada"

Refleksi Pertemuan Kedua

Perkuliahan hari ini masih sama seperti hari biasa dengan diliputi rasa ingin tahu. Tidak ada kegiatan yang harus menguras banyak tenaga namun menyita banyak pikiran untuk menghasilkan cabang pikiran-pikiran baru. Posisi duduk pun masih sama, berdekatan mengelilingi Dosen yang bertutur pentingnya filsafat ilmu. Mendengarkan banyak petuah dan motivasi hidup baru seiring waktu yang berjalan penuh dengan kebermaknaan. Akankah waktu dapat kembali?, tidak!. Melainkan waktu terus mengalir laksana air sungai yang terus mengalir mencari muara tempat pemberhentian terakhir.

Dengan melihat ilustrasi air sungai tersebut, terbersit pertanyaan. Untuk apakah air sungai itu mengalir ??. Ada atau tiadakah kaitannya aliran sungai dengan tempat kemana ia mengalir??. Secara tak langsung pertanyaan ini menyinggung mengenai materi hari ini yaitu objek filsafat. Objek filsafat pada dasarnya mempelajari suatu yang ada dan yang mungkin ada. Berawal dari konsep “ada” dan “tiada”. Manusia ada karena wujud yang melekat pada dirinya disamping itu ada sebuah anggapan suatu yang “ada” tidak terlepas dari keadaan “tiada”.

Melirik pendapat seorang filsuf rasionalis Jerman, Gottfried Leibniz dalam “Prinsip Alasan Memadai” miliknya. Yang mengatakan,”untuk semua yang ada, pasti ada alasannya mengapa hal itu ada, dan mengapa hal itu ada seperti apa adanya.”. Namun kebanyak dari kita tidak pernah mengetahui dan memikirkan alasannya mengapa segala sesuatu itu bisa terjadi, memikirkan kemungkinan ada atau tidaknya suatu sebab akibat dari yang telah ada. Maka disinilah kedudukannya berfilsafat melalui metodenya yaitu menjelaskan yang mungkin ada menjadi ada dengan melihat segala sesuatunya untuk disyukuri sebagai hikmah.  Inilah cara mensyukuri nikmat Allah SWT dengan filsafat. Mensyukuri dengan berbagai cara yang kita bisa tanpa adanya rasa sombong dan kedustaan sebagai hamba Allah. Bukankah Al-Qur’an menerangkan Fa-biayyi alaa'i Rabbi kuma tukadzdzi ban (Maka nikmat Tuhanmu yang manakah yang kamu dustakan?)

Jika manusia diberikan segala sesuatunya serba ada dan bisa mengetahui semua maka manusia tidak akan hidup. Karena justru kehidupan itulah adalah manusia yang tidak sempurna. Ketidak sempurnaan dari pengetahuan, sifat atau karakter dirinya. Sehingga sebagai manusia tidak akan pernah bisa tuntas menjawab dan menyebutkan segala yang “ada” terlebih lagi yang mungkin ada, baik yang ada pada dirinya (di dalam) maupun orang lain (di luar) melainkan hanya bisa menyebutkan beberapa yang pokok saja dan berusaha menuju ketuntasan.

Dari ketidak tahuan apa yang ada dalam diri maupun di luar diri itulah menyebabkan filsafat memiliki 2 macam problem, yaitu :
·         Jika dia diluar fikiran, bagaimana engkau mengertinya ?
·        Jika dia didalam fikiran, bagaimana engkau mempu menjelaskannya ?
Kedua permasalah pemikiran ini mengakibatkan jika suatu objek dianggap ada diluar fikiran maka objek tersebut eksis secara nyata. Artinya objek tersebut dapat dilihat, disentuh maupun dirasakan keberadaannya. Sedangkan yang tidak ada diluar fikiran berarti nihil, atau tidak nampak, tidak dapat disentuh dan dirasakan keberadaannya. Dalam filsafat, keberadaan suatu objek dikaitkan dengan ruang dan waktu. ‘Tidak ada’ tidak berarti tidak eksis, sedangkan yang ‘ada’ tidak berarti objek tersebut selalu ada. ‘Tidak ada’ bisa juga disebut ‘ada’. Mengapa bisa demikian? Karena jika kita memandang keberadaan suatu objek dalam dimensi ruang dan waktu, ‘ada’ dalam suatu ruang dan waktu dapat juga dikatakan ‘tidak ada’ dalam ruang dan waktu yang lain. Jika sebuah objek berada di tempat tertentu, berarti objek tersebut tidak ada di tempat lainnya, begitu pula jika objek itu ada di suatu waktu tertentu, bisa juga objek itu tidak ada di waktu lain.

Konsep ruang dan waktu pada ‘ada’ atau ‘ketiadaaan’ memunculkan cara pandang tertentu dalam pemikiran untuk pengambilan keputusan. Cara pandang pemikiran inilah yang akhirnya mengakibatkan filsafat memiliki cabang pemikiran atau aliran dari masing-masing filsuf yaitu aliran realisti dan idealis. Aliran realistis menyebutkan bahwa apa yang sudah hilang maka sudah tidak ada. Sedangkan aliran idealis menyatakan bahwa apa yang sudah hilang belum tentu hilang atau masih ada baik dalam fikiran maupun hati. Maka pemikiran dari seorang filsuf tidaklah sama satu dengan yang lainnya karena menyangkut objek formalnya. Tokoh filsafat yang mengkaji idealis adalah Plato, sedangkan realistis adalah Aristoteles.

Dari konsep diatas menyampaikan kepada kita bahwa dari ‘ada’ dan ‘tiada’ hakikatnya tentu saja otonom terlepas dari keterkaitan dengan kesadaran sang penangkapnya,tetapi tiap diri menangkap ‘ada’ dan ‘tiada’ pada ruang kesadaran yang berbeda-beda. Komunikasi cara berfikir bijak untuk memahami hal-hal yang ada di dalam dan diluar pikiran, sehingga dapat berjalan senada dan selaras sebagai sosok manusia mestinya. Manusia itu sama sekali bukan pencipta ‘ada’ ,sehingga manusia tak berhak menyatakan bahwa yang ‘ada’ yang benar adalah hanya segala suatu yang telah masuk kedalam kesadarannya.

Mengutip salah satu tulisan di kompasiana kehidupan ini berdasar pengalaman anda pribadi, berapa persen atau berapa banyak (dari keseluruhan ADA) yang telah dapat anda ketahui-fahami alias telah tersadari sebagai ADA-sebagai kebenaran ? apakah lalu anda akan berkesimpulan bahwa yang ADA-yang benar adalah hanya yang telah anda sadari atau kalau menurut konsep Descartes : telah tidak diragukan lagi ? dan lalu secara sewenang wenang lantas anda menyatakan bahwa hal hal yang gaib seperti alam kubur-alam akhirat itu pasti tidak ADA hanya karena anda tak dapat menyadari keberadaannya (dan meragukannya) .. lalu bagaimana kalau benar benar ADA …bukankah manusia itu hanya penangkap sebagian kecil ADA (?) .. dan bukankah ADA itu (sebagaimana kasus planet planet itu) tidaklah menampakkan diri secara serentak secara sekaligus melainkan ia dapat atau bisa menampakkan diri di lain waktu yang sama sekali tak dapat kita pastikan (?) ….
Tetapi yang pasti adalah,bahwa kita manusia itu hanya penangkap sebagian kecil ADA,(mungkin tidak sampai 1 % nya ?), sehingga bagaimana bisa lalu manusia secara sewenang wenang sampai berani mengatakan bahwa hal hal yang tidak bisa masuk kedalam penglihatan atau lebih jauh lagi : kedalam kesadarannya adalah pasti tidak ada atau secara lebih jauh : pasti tidak benar (?)..”

         Maka selayaknya menjadi seorang manusia pantaslah kita sadar bahwa kita tidak pernah akan mencapai tahu segala hal, sehingga selayaknya menundukkan diri. Meyakini apa yang "ada" merupakan lautan yang tidak bertepi, dan tidak ada yang dapat meliputinya kecuali Dzat yang Maha Meliputi segala sesuatu serta mengetahui segala yang "ada" yang itu merupakan ilmu pengetahuan yang hanya sedikit kita ketahui. “Dan tiadalah kalian diberikan ilmu kecuali hanya sedikit.” (QS. Al-Israa’: 85).

Seperti adegium Sokrates :

Aku tidak tahu apa-apa.

Satu-satunya yang kutahu adalah

Aku tidak tahu apa-apa


3 komentar:

  1. Komentar ini telah dihapus oleh pengarang.

    BalasHapus
  2. Banyak hal dirasakan antara ada dan tiada. Semoga yang ada benar adanya dan yang tidak ada memang benar ketidak adaannya. Bukan ada untuk mengadakan yang tidak ada, atau mentiadakan hal yang ada. Semoga yang tidak ada lekas dimungkinkan ada dan lekas pula diadakan. Karena ada atau tidak adanya semua ada di tangan Sang Maha Ada.

    BalasHapus