Refleksi Pertemuan Kedua
Perkuliahan hari
ini masih sama seperti hari biasa dengan diliputi rasa ingin tahu. Tidak ada
kegiatan yang harus menguras banyak tenaga namun menyita banyak
pikiran untuk menghasilkan cabang pikiran-pikiran baru. Posisi duduk pun masih
sama, berdekatan mengelilingi Dosen yang bertutur pentingnya filsafat ilmu. Mendengarkan
banyak petuah dan motivasi hidup baru seiring waktu yang berjalan penuh dengan
kebermaknaan. Akankah waktu dapat kembali?, tidak!. Melainkan waktu terus
mengalir laksana air sungai yang terus mengalir mencari muara tempat
pemberhentian terakhir.
Dengan melihat
ilustrasi air sungai tersebut, terbersit pertanyaan. Untuk apakah air sungai
itu mengalir ??. Ada atau tiadakah kaitannya aliran sungai dengan tempat kemana
ia mengalir??. Secara tak langsung pertanyaan ini menyinggung mengenai materi
hari ini yaitu objek filsafat. Objek filsafat pada dasarnya mempelajari suatu
yang ada dan yang mungkin ada. Berawal dari konsep “ada” dan “tiada”. Manusia
ada karena wujud yang melekat pada dirinya disamping itu ada sebuah anggapan
suatu yang “ada” tidak terlepas dari keadaan “tiada”.
Melirik pendapat
seorang filsuf rasionalis Jerman,
Gottfried Leibniz dalam “Prinsip Alasan
Memadai” miliknya. Yang mengatakan,”untuk
semua yang ada, pasti ada alasannya mengapa hal itu ada, dan mengapa hal itu
ada seperti apa adanya.”. Namun kebanyak dari kita tidak pernah mengetahui dan memikirkan alasannya mengapa segala sesuatu itu bisa terjadi, memikirkan kemungkinan ada atau tidaknya suatu sebab akibat dari yang telah ada. Maka disinilah kedudukannya berfilsafat
melalui metodenya yaitu menjelaskan yang mungkin ada menjadi ada dengan melihat
segala sesuatunya untuk disyukuri sebagai hikmah. Inilah cara mensyukuri nikmat Allah SWT
dengan filsafat. Mensyukuri dengan berbagai cara yang kita bisa tanpa adanya
rasa sombong dan kedustaan sebagai hamba Allah. Bukankah Al-Qur’an menerangkan Fa-biayyi alaa'i Rabbi kuma tukadzdzi ban
(Maka nikmat Tuhanmu yang manakah yang kamu dustakan?)
Jika manusia
diberikan segala sesuatunya serba ada dan bisa mengetahui semua maka manusia
tidak akan hidup. Karena justru kehidupan
itulah adalah manusia yang tidak sempurna. Ketidak sempurnaan dari
pengetahuan, sifat atau karakter dirinya. Sehingga sebagai manusia tidak akan
pernah bisa tuntas menjawab dan menyebutkan segala yang “ada” terlebih lagi
yang mungkin ada, baik yang ada pada dirinya (di dalam) maupun orang lain (di
luar) melainkan hanya bisa menyebutkan beberapa yang pokok saja dan berusaha
menuju ketuntasan.
Dari ketidak
tahuan apa yang ada dalam diri maupun di luar diri itulah menyebabkan filsafat
memiliki 2 macam problem, yaitu :
·
Jika
dia diluar fikiran, bagaimana engkau mengertinya ?
· Jika
dia didalam fikiran, bagaimana engkau mempu menjelaskannya ?
Kedua permasalah pemikiran ini mengakibatkan
jika suatu objek dianggap ada diluar fikiran maka objek tersebut eksis secara
nyata. Artinya objek tersebut dapat dilihat, disentuh maupun dirasakan
keberadaannya. Sedangkan yang tidak ada diluar fikiran berarti nihil, atau
tidak nampak, tidak dapat disentuh dan dirasakan keberadaannya. Dalam filsafat,
keberadaan suatu objek dikaitkan dengan ruang dan waktu. ‘Tidak ada’ tidak
berarti tidak eksis, sedangkan yang ‘ada’ tidak berarti objek tersebut selalu
ada. ‘Tidak ada’ bisa juga disebut ‘ada’. Mengapa bisa demikian? Karena jika
kita memandang keberadaan suatu objek dalam dimensi ruang dan waktu, ‘ada’
dalam suatu ruang dan waktu dapat juga dikatakan ‘tidak ada’ dalam ruang dan
waktu yang lain. Jika sebuah objek berada di tempat tertentu, berarti objek
tersebut tidak ada di tempat lainnya, begitu pula jika objek itu ada di suatu
waktu tertentu, bisa juga objek itu tidak ada di waktu lain.
Konsep ruang dan
waktu pada ‘ada’ atau ‘ketiadaaan’ memunculkan cara pandang tertentu dalam
pemikiran untuk pengambilan keputusan. Cara pandang pemikiran inilah yang
akhirnya mengakibatkan filsafat memiliki cabang pemikiran atau aliran dari
masing-masing filsuf yaitu aliran realisti dan idealis. Aliran realistis
menyebutkan bahwa apa yang sudah hilang maka sudah tidak ada. Sedangkan aliran
idealis menyatakan bahwa apa yang sudah hilang belum tentu hilang atau masih
ada baik dalam fikiran maupun hati. Maka pemikiran dari seorang filsuf tidaklah
sama satu dengan yang lainnya karena menyangkut objek formalnya. Tokoh filsafat
yang mengkaji idealis adalah Plato, sedangkan realistis adalah Aristoteles.
Dari konsep
diatas menyampaikan kepada kita bahwa dari ‘ada’ dan ‘tiada’ hakikatnya tentu saja otonom terlepas dari
keterkaitan dengan kesadaran sang penangkapnya,tetapi tiap diri menangkap ‘ada’
dan ‘tiada’ pada ruang kesadaran yang berbeda-beda. Komunikasi cara
berfikir bijak untuk memahami hal-hal yang ada di dalam dan diluar pikiran,
sehingga dapat berjalan senada dan selaras sebagai sosok manusia mestinya. Manusia itu sama sekali bukan pencipta ‘ada’ ,sehingga manusia tak berhak menyatakan bahwa yang ‘ada’ yang
benar adalah hanya segala suatu yang telah masuk kedalam kesadarannya.
Mengutip salah satu tulisan di kompasiana “kehidupan
ini berdasar pengalaman anda pribadi, berapa persen atau berapa banyak (dari
keseluruhan ADA) yang telah dapat anda ketahui-fahami alias telah tersadari
sebagai ADA-sebagai kebenaran ? apakah
lalu anda akan berkesimpulan bahwa yang ADA-yang benar adalah hanya yang telah anda sadari atau kalau
menurut konsep Descartes : telah tidak diragukan lagi ? dan lalu secara sewenang wenang
lantas anda menyatakan bahwa hal hal yang gaib seperti alam kubur-alam akhirat
itu pasti tidak ADA hanya karena anda tak dapat menyadari keberadaannya (dan
meragukannya) .. lalu bagaimana kalau benar benar ADA …bukankah manusia itu
hanya penangkap sebagian kecil ADA (?) .. dan bukankah ADA itu (sebagaimana
kasus planet planet itu) tidaklah menampakkan diri secara serentak secara
sekaligus melainkan ia dapat atau bisa menampakkan diri di lain waktu yang sama
sekali tak dapat kita pastikan (?) ….
Tetapi
yang pasti adalah,bahwa kita manusia itu hanya penangkap sebagian kecil
ADA,(mungkin tidak sampai 1 % nya ?), sehingga bagaimana bisa lalu manusia
secara sewenang wenang sampai berani mengatakan bahwa hal hal yang tidak bisa
masuk kedalam penglihatan atau lebih jauh lagi : kedalam kesadarannya adalah
pasti tidak ada atau secara lebih jauh : pasti tidak benar (?)..”
Maka selayaknya menjadi
seorang manusia pantaslah kita sadar bahwa kita tidak pernah akan mencapai tahu segala hal, sehingga selayaknya menundukkan diri. Meyakini apa yang "ada" merupakan lautan yang tidak bertepi, dan tidak ada yang
dapat meliputinya kecuali Dzat yang Maha Meliputi segala sesuatu serta mengetahui
segala yang "ada" yang itu merupakan ilmu pengetahuan yang hanya sedikit kita ketahui. “Dan tiadalah kalian diberikan ilmu
kecuali hanya sedikit.” (QS. Al-Israa’: 85).
Seperti adegium Sokrates :
Aku
tidak tahu apa-apa.
Satu-satunya
yang kutahu adalah
Aku
tidak tahu apa-apa
Komentar ini telah dihapus oleh pengarang.
BalasHapusBanyak hal dirasakan antara ada dan tiada. Semoga yang ada benar adanya dan yang tidak ada memang benar ketidak adaannya. Bukan ada untuk mengadakan yang tidak ada, atau mentiadakan hal yang ada. Semoga yang tidak ada lekas dimungkinkan ada dan lekas pula diadakan. Karena ada atau tidak adanya semua ada di tangan Sang Maha Ada.
BalasHapusGood Reflection
BalasHapus