Minggu, 20 September 2015
Serba Serbi Permasalah Dalam Pendidikan Matematika
Pendidikan memiliki peranan yang begitu penting dalam
kehidupan manusia dan merupakan hal yang mutlak untuk didapatkan oleh setiap orang.
Sebab pentingnya suatu pendidikan maka kemajuan suatu bangsa mencerminkan
kualitas pendidikannya. Kualitas pendidikan menjadi sorotan penting akhir-akhir
ini. Bagaimana tidak, banyak pelaku pendidikan yang berlomba-loba untuk
memberikan solusi dan saran untuk kemajuan pendidikan. Karena pada dasarnya dalam
pendidikan pasti terdapat masalah-masalah yang dihadapi, salah satunya pendidikan
matematika. Sebab Matematika merupakan salah
satu ilmu pendidikan yang utama karena matematika berperan dalam melengkap ilmu
lainnya.
Pendidikan Matematika
memiliki peranan penting dalam berbagai aspek kehidupan. Peran pendidikan matematika dewasa ini semakin
penting, karena banyak informasi yang disampaikan dalam bahasa matematika. Permasalahan pendidikan matematika yang terjadi saat
ini pasti terjadi, karena ada faktor-faktor yang mempengaruhinya dan sebenarnya
dapat bersumber darikomponen-komponen yang membentuk suatu sistem pembelajaran
tersebut. Soedjadi (2000) menggambarkan komponen tersebut meliputi masukan( input
/peserta didik), masukan instrumental (pendidik, kurikulum, materi ajar,sarana/prasarana,
metode/model/strategi pembelajaran), lingkungan(dukungan/keikutsertaan orang
tua atau masyarakat sekitar), dan keluaran ( output ).
Berangkat dari permasalahan itulah pada berkesempatan
diskusi pada materi perkuliah Metodologi Penelitian menyampaikan beberapa
permasalahn pendidikan yang dialami oleh pelaku pendidikan matematika yang mana
meliputi guru, siswa, kepala sekolah, dinas pendidikan, dan orang tua.
1.
Guru
ü Kurikulum yang diatur oleh pemerintah membuat
guru kaku dalam mengajar
ü Kepribadian/kompetensi guru yang kurang
memadai menyebabkan kurangnya kinerja guru
ü Permasalahan ekonomi yang mengharuskan guru
bekerja bukan karena panggilan nurani menyebabkan guru tidak mampu menyiapkan
diri untuk mengajar dengan baik
ü Kurang bervariasi dalam menyiapkan metode
pembelajaran
ü Kurangnya motivasi dalam diri guru
ü Kurangnya pelatihan yang diberikan kepada
guru
2.
Siswa
ü Ketertarika terhadap guru karena dari
berbagai aspek seperi, cara mengajar guru atau karakter guru itu sendiri
ü Pembelajaran yang monoton menyebabkan anak
kurang tertarik dengan pelajaran
ü Matematika dianggap sulit karena rumus-rumus
yang dianggap banyak
ü Siswa belum memahami materi prasyarat,
sehingga sulit untuk memahami materi berikutnya
ü Pemahaman buku yang kurang karena materi yang
terlalu abstrak
ü Penerapan waktu lima hari kerja membuat siswa
kurang konsentrasi
ü Kemampuan siswa yang variatif, yang kurang pintar
merasa minder yang disebabkan dari berbagai faktor seperti (orangtua,
lingkungan)
ü Fasilitas yang dimiliki siswa kurang sehingga
tidak menunjang kegiatan belajar siswa
ü Jadwal belajar khusus MIPA yang sesuai dengan
kondisi berpikir siswa
ü Perjuangan yang kurang sehingga menyebabkan
rasa malas dan kurang tertarik karena tidak sesuai dengan cita-cita anak
ü Kecemasan ketika ujian karena kurangnya
persiapan atau pemahaman terhadap materi
ü Kondisi tubuh menyebabkan kondisi fisik dan
kurangnya konsentrasi siswa dalam mengikuti pelajaran.
ü Kecanduan game, computer atau internet
sehingga pendidikan diabaikan
3.
Kepala
sekolah
ü Kepala sekolah kurang memonitori kegiatan
sekolah disebabkan karena jadwal yang padat
ü Pengetahuan IT yang kurang
ü Kurangnya pelatihan kepemimpinan bagi kepala
sekolah
ü Niat menjadi kepala sekolah karena ekonomi
dan status sosial, ini hanya berlaku jika dalam perekrutan kepala sekolah tidak
menggunakan prosedur yang ada
ü Pengelolaan dana sekolah kurang optimal
ü Manajemen kepemimpinan kurang memadai
ü Sosialisasi atau hubungan dengan guru-guru
kurang sehat
4.
Dinas
pendidikan
ü Evaluasi pelatihan yang diselenggarakan dinas
tidak merata
ü Pelatihan kurang efektif baik tempat maupun
waktu
ü Kurang monitoring, hanya melaksanakan tugas
ü Pemerataan dana pendidikan
ü Dana pemerintah tidak 100% diterima, daya
serap 100% tetapi tidak sesuai dengan alokasinya
ü Sistem Pelayanan administrasi
5.
Orang
tua
ü Biaya pendidikan
ü Fasilitas untuk anak kurang memadai
ü Wawasan orang tua yang minim menyebabkan anak
kurang mendapat pendidikan melalui orangtua
ü Tuntutan terhadap anak untuk mengikuti apa
yang mereka mau
ü Komunkasi yang tidak lancar karena kesibukan
orang tua
ü Tidak ada keteladanan yang ditunjukkan pada
anak
ü Pola pemilihan sekolah yang tidak tepat
menyebabkan anak kurang bersemangat
ü Orang tua kurang peka terhadap kebutuhan
siswa
Selain permasalahan yang telah disampaikan
diatas, tidak menutup kemungkinan ada beberapa faktor masalah lain lagi yang
kami bahas pada diskusi kali ini, diantaranya:
Ø Lingkungan
Ø Kurangnya sarana dan prasana
Ø Suasana akademis yang tidak memungkinkan
untuk belajar
Ø Suasana hijau yang kurang
Ø Matematika
Ø Soal yang diberikan tidak sesuai dengan
konteks kehidupan sehari-hari
Ø Pola pikir bahwa rumus matematika tidak untuk
dihafal tapi untuk dipahami
Ø Kurangnya pemahaman ilmu dasar matematika
Ø Materi yang diberikan tidak sesuai dengan
tingkat penalaran siswa
Ø Tingkat kesulitan soal
Ø Konsep belum diketahui manfaatnya
Ø Matematika simbolik
Sehingga apa
yang kami sampaikan tersebut menjadi informasi mengenai permasalahan pendidikan
dan titik awal untuk dikajian lebih lanjut sebagai jembatan memberikan
solusi pada diskusi selanjutnya.
Tulisan ini adalah hasil diskusi bersama
mahasiswa kelas PMat A PPs UNY 2015 pada mata kuliah Metodologi Penelitian yang
dibimbing oleh ibu Dr. Heri Retnowati.
ANTARA "Ada" dan "Tiada"
Refleksi Pertemuan Kedua
Perkuliahan hari
ini masih sama seperti hari biasa dengan diliputi rasa ingin tahu. Tidak ada
kegiatan yang harus menguras banyak tenaga namun menyita banyak
pikiran untuk menghasilkan cabang pikiran-pikiran baru. Posisi duduk pun masih
sama, berdekatan mengelilingi Dosen yang bertutur pentingnya filsafat ilmu. Mendengarkan
banyak petuah dan motivasi hidup baru seiring waktu yang berjalan penuh dengan
kebermaknaan. Akankah waktu dapat kembali?, tidak!. Melainkan waktu terus
mengalir laksana air sungai yang terus mengalir mencari muara tempat
pemberhentian terakhir.
Dengan melihat
ilustrasi air sungai tersebut, terbersit pertanyaan. Untuk apakah air sungai
itu mengalir ??. Ada atau tiadakah kaitannya aliran sungai dengan tempat kemana
ia mengalir??. Secara tak langsung pertanyaan ini menyinggung mengenai materi
hari ini yaitu objek filsafat. Objek filsafat pada dasarnya mempelajari suatu
yang ada dan yang mungkin ada. Berawal dari konsep “ada” dan “tiada”. Manusia
ada karena wujud yang melekat pada dirinya disamping itu ada sebuah anggapan
suatu yang “ada” tidak terlepas dari keadaan “tiada”.
Melirik pendapat
seorang filsuf rasionalis Jerman,
Gottfried Leibniz dalam “Prinsip Alasan
Memadai” miliknya. Yang mengatakan,”untuk
semua yang ada, pasti ada alasannya mengapa hal itu ada, dan mengapa hal itu
ada seperti apa adanya.”. Namun kebanyak dari kita tidak pernah mengetahui dan memikirkan alasannya mengapa segala sesuatu itu bisa terjadi, memikirkan kemungkinan ada atau tidaknya suatu sebab akibat dari yang telah ada. Maka disinilah kedudukannya berfilsafat
melalui metodenya yaitu menjelaskan yang mungkin ada menjadi ada dengan melihat
segala sesuatunya untuk disyukuri sebagai hikmah. Inilah cara mensyukuri nikmat Allah SWT
dengan filsafat. Mensyukuri dengan berbagai cara yang kita bisa tanpa adanya
rasa sombong dan kedustaan sebagai hamba Allah. Bukankah Al-Qur’an menerangkan Fa-biayyi alaa'i Rabbi kuma tukadzdzi ban
(Maka nikmat Tuhanmu yang manakah yang kamu dustakan?)
Jika manusia
diberikan segala sesuatunya serba ada dan bisa mengetahui semua maka manusia
tidak akan hidup. Karena justru kehidupan
itulah adalah manusia yang tidak sempurna. Ketidak sempurnaan dari
pengetahuan, sifat atau karakter dirinya. Sehingga sebagai manusia tidak akan
pernah bisa tuntas menjawab dan menyebutkan segala yang “ada” terlebih lagi
yang mungkin ada, baik yang ada pada dirinya (di dalam) maupun orang lain (di
luar) melainkan hanya bisa menyebutkan beberapa yang pokok saja dan berusaha
menuju ketuntasan.
Dari ketidak
tahuan apa yang ada dalam diri maupun di luar diri itulah menyebabkan filsafat
memiliki 2 macam problem, yaitu :
·
Jika
dia diluar fikiran, bagaimana engkau mengertinya ?
· Jika
dia didalam fikiran, bagaimana engkau mempu menjelaskannya ?
Kedua permasalah pemikiran ini mengakibatkan
jika suatu objek dianggap ada diluar fikiran maka objek tersebut eksis secara
nyata. Artinya objek tersebut dapat dilihat, disentuh maupun dirasakan
keberadaannya. Sedangkan yang tidak ada diluar fikiran berarti nihil, atau
tidak nampak, tidak dapat disentuh dan dirasakan keberadaannya. Dalam filsafat,
keberadaan suatu objek dikaitkan dengan ruang dan waktu. ‘Tidak ada’ tidak
berarti tidak eksis, sedangkan yang ‘ada’ tidak berarti objek tersebut selalu
ada. ‘Tidak ada’ bisa juga disebut ‘ada’. Mengapa bisa demikian? Karena jika
kita memandang keberadaan suatu objek dalam dimensi ruang dan waktu, ‘ada’
dalam suatu ruang dan waktu dapat juga dikatakan ‘tidak ada’ dalam ruang dan
waktu yang lain. Jika sebuah objek berada di tempat tertentu, berarti objek
tersebut tidak ada di tempat lainnya, begitu pula jika objek itu ada di suatu
waktu tertentu, bisa juga objek itu tidak ada di waktu lain.
Konsep ruang dan
waktu pada ‘ada’ atau ‘ketiadaaan’ memunculkan cara pandang tertentu dalam
pemikiran untuk pengambilan keputusan. Cara pandang pemikiran inilah yang
akhirnya mengakibatkan filsafat memiliki cabang pemikiran atau aliran dari
masing-masing filsuf yaitu aliran realisti dan idealis. Aliran realistis
menyebutkan bahwa apa yang sudah hilang maka sudah tidak ada. Sedangkan aliran
idealis menyatakan bahwa apa yang sudah hilang belum tentu hilang atau masih
ada baik dalam fikiran maupun hati. Maka pemikiran dari seorang filsuf tidaklah
sama satu dengan yang lainnya karena menyangkut objek formalnya. Tokoh filsafat
yang mengkaji idealis adalah Plato, sedangkan realistis adalah Aristoteles.
Dari konsep
diatas menyampaikan kepada kita bahwa dari ‘ada’ dan ‘tiada’ hakikatnya tentu saja otonom terlepas dari
keterkaitan dengan kesadaran sang penangkapnya,tetapi tiap diri menangkap ‘ada’
dan ‘tiada’ pada ruang kesadaran yang berbeda-beda. Komunikasi cara
berfikir bijak untuk memahami hal-hal yang ada di dalam dan diluar pikiran,
sehingga dapat berjalan senada dan selaras sebagai sosok manusia mestinya. Manusia itu sama sekali bukan pencipta ‘ada’ ,sehingga manusia tak berhak menyatakan bahwa yang ‘ada’ yang
benar adalah hanya segala suatu yang telah masuk kedalam kesadarannya.
Mengutip salah satu tulisan di kompasiana “kehidupan
ini berdasar pengalaman anda pribadi, berapa persen atau berapa banyak (dari
keseluruhan ADA) yang telah dapat anda ketahui-fahami alias telah tersadari
sebagai ADA-sebagai kebenaran ? apakah
lalu anda akan berkesimpulan bahwa yang ADA-yang benar adalah hanya yang telah anda sadari atau kalau
menurut konsep Descartes : telah tidak diragukan lagi ? dan lalu secara sewenang wenang
lantas anda menyatakan bahwa hal hal yang gaib seperti alam kubur-alam akhirat
itu pasti tidak ADA hanya karena anda tak dapat menyadari keberadaannya (dan
meragukannya) .. lalu bagaimana kalau benar benar ADA …bukankah manusia itu
hanya penangkap sebagian kecil ADA (?) .. dan bukankah ADA itu (sebagaimana
kasus planet planet itu) tidaklah menampakkan diri secara serentak secara
sekaligus melainkan ia dapat atau bisa menampakkan diri di lain waktu yang sama
sekali tak dapat kita pastikan (?) ….
Tetapi
yang pasti adalah,bahwa kita manusia itu hanya penangkap sebagian kecil
ADA,(mungkin tidak sampai 1 % nya ?), sehingga bagaimana bisa lalu manusia
secara sewenang wenang sampai berani mengatakan bahwa hal hal yang tidak bisa
masuk kedalam penglihatan atau lebih jauh lagi : kedalam kesadarannya adalah
pasti tidak ada atau secara lebih jauh : pasti tidak benar (?)..”
Maka selayaknya menjadi
seorang manusia pantaslah kita sadar bahwa kita tidak pernah akan mencapai tahu segala hal, sehingga selayaknya menundukkan diri. Meyakini apa yang "ada" merupakan lautan yang tidak bertepi, dan tidak ada yang
dapat meliputinya kecuali Dzat yang Maha Meliputi segala sesuatu serta mengetahui
segala yang "ada" yang itu merupakan ilmu pengetahuan yang hanya sedikit kita ketahui. “Dan tiadalah kalian diberikan ilmu
kecuali hanya sedikit.” (QS. Al-Israa’: 85).
Seperti adegium Sokrates :
Aku
tidak tahu apa-apa.
Satu-satunya
yang kutahu adalah
Aku
tidak tahu apa-apa
Jumat, 18 September 2015
AWALI DENGAN KORIDOR ADAB
Refleksi Pertemuan Perdana
Pada pertemuan perkuliah
pertama filsafat ilmu diawali pengantar mata kuliah dengan berbagai perasaan
bingung dan penasaran. Bagaimana tidak, karena ini merupakan materi perdana
tentang filsafat yang saya dapatkan dan kesan yang timbul dari banyak orang mengatakan filsafat itu
rumit, filsafat dapat menyesatkan pikiran, dan belajar filsafat bisa membuat
orang menjadi “gila”. kesimpulannya, filsafat harus dijauhi. .
Namun, pendapat umum itu tidak selamanya
benar. Artinya, pemikiran yang telah beku akibat pandangan sinis terhadap
filsafat dapat didekonstruksi.
Karenanya sebagai penuntut ilmu,
selayaknya kita harus membuka wawasa serta menghargai suatu ilmu itu sebagai harta karun yang begitu berharga. Memiliki suatu ilmu berarti meninggikan
derajat serta menjadikan seseorang lebih merendah terhadap ilmu yang
dimilikinya. Norma, adab atau etika pun harus dimiliki dalam menuntut ilmu.
Begitupula dalam mempelajarai filsafat yang merupakan merupakan suatu ilmu.
Mengutip pendapat Imanuel Kant ( 1724 – 1804 ) : Filsafat adalah ilmu
pengetahuan yang menjadi pokok dan pangkal dari segala pengetahuan yang
didalamnya tercakup empat persoalan.
Apakah yang dapat kita kerjakan
?(jawabannya metafisika )
Apakah yang seharusnya kita kerjakan
(jawabannya Etika )
Sampai dimanakah harapan kita ?(jawabannya
Agama )
Apakah yang dinamakan manusia ?
(jawabannya Antropologi )
Memiliki etika atau adab dalam mempelajari
filsafat tujuannya agar tidak sampai pada kesimpulan sepihak serta tidak pula
mebiarkan berpikir bebas. Sebab pada dasarnya filsafat ilmu merupakan olah
pikir, sumber-sumber yang dipikir apa saja, bagaimana pembenaran dan logikanya,
apa cakupan serta objeknya, dan metodologi maupun tata caranya. Sehingga adab
atau tatacanya sebagai batasan pada pengantar perkuliahan ini.
Adapun adab yang dimaksud dalam
mempelajari filsafat ilmu yaitu adab yang memiliki koridor, dimana koridornya
adalah spiritual dan mematangkan diri dari aspek psikologi. Dengan tetap berada pada koridor spiritual kita akan tetap pada koridor
kebenaran dan tidak terbawa arus penafsiran bebas, seperti ungkapan
“bagaikan layang-layang
terbang jauh
bergoyang-goyang
tertiup angin putuslah
benang
maka pupus sudah dan
hilang harapan”
Sehingga
koridor spiritual sangatlah penting sebagai pagar utama dalam mempelajari
filsafat ilmu. Selain koridor spiritualitas diri, kematangan diri pun menjadi
salah satu koridornya yang mana terkait dengan aspek psikologi. Aspek psikologi
yang dimaksud disini ialah aspek psikologi diri dan orang dewasa. Dimana aspek
psikologi diri ialah kesabaran, ketlatenan, keuletan, daya juang dan lain-lain
dalam memahami filsafat ilmu. Sedangkan aspek psikologi orang dewasa merupakan
cara mengambil keputusan dengan didasarkan tanggung jawab atas pilihan atau
perbuatannya.
Itulah pelajaran yang saya tangkap dan
menyadari bahwa mempelajari suatu ilmu tidak hanya mempelajari sebatas materi,
tetapi juga memahami adab atau etikanya. Sehingga pemilihan sudut pandang
yang tak lazim dari filsafat dapat diubah dan menjadi pengantar yang
menyenangkan untuk mempelajari dan memahami filsafat dalam konteks yang lebih
luas, utamanya bagi kalangan akademisi.